Oleh: Lidya Mustika Hardiyanti Nugraha Mahasiswa Hukum Universitas Jambi
Pada tanggal 8-10 November 2024, Presiden Indonesia terpilih ke-8 Prabowo Subianto melakukan kunjungan kenegaraan perdana sejak dilantik 20 oktober 2024 lalu. Kunjungan kenegaraan pertama Presiden Indonesia Prabowo Subianto ke Negara China. Pada tanggal 9 November 2024, Presiden Indonesia Prabowo Subianto dan Presiden China Xi Jinping mengeluarkan Joint Statement antara China dan Indonesia.
Joint Statement antara China dan Indonesia mengeluarkan 14 poin, dimana poin yang ke-9 dalam joint statement tersebut ada membahas mengenai tumpang tindih (overlapping) wilayah antara China dan Indonesia “The two sides reached important common understanding on joint development in areas of overlapping claims”.
Overlapping claims tersebut menimbulkan kontroversi, beberapa pakar Hukum Internasional mengkritik dan mempertanyakan wilayah Indonesia bagian mana yang tumpang tindih (overclaims) dengan wilayah China. Apakah klaim tumpang tindih yang dimaksud oleh China adalah klaim “nine-dash-line” atau “sembilan garis putus-putus” yang sekarang menjadi “sepuluh garis putus-putus” yang berada di Laut Cina Selatan.
Laut Cina Selatan berganti nama menjadi Laut Natuna Utara saat kepemimpinan Presiden Indonesia ke-7 Joko Widodo. Laut Natuna Utara adalah bagian dari wilayah Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) Indonesia, menurut Konvensi PBB mengenai Hukum Laut atau United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS)1982. Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) adalah zona perairan yang hanya dimiliki oleh negara kepulauan, ZEE merupakan wilayah laut yang berjarak sejauh 200 mil dari garis dasar pantai ke arah laut lepas.
Indonesia selama ini telah menegaskan bahwa tidak memiliki sengketa tumpang tindih (overlapping) dengan China di Laut Natuna Utara. Namun, dengan adanya joint statement antara China dan Indonesia berarti secara tidak langsung Indonesia telah mengakui bahwa adanya tumpang tindih (overlapping) wilayah di zona maritim dengan China di Laut Natuna Utara.
Klaim China terhadap “sembilan (sepuluh) garis putus-putus” di Laut Natuna Utara tidak berdasarkan pada hukum internasional, China mengklaim wilayah tersebut hanya berdasarkan sejarah atau historis.
Dengan adanya Joint Statement antara China dan Indonesia ini, Indonesia harus tegas untuk menyatakan dan mempertahankan wilayah perairan Laut Natuna Utara karena wilayah perairan tersebut merupakan wilayah maritim Indonesia yang kedaulatannya berada di bawah kedaulatan penuh Negara Republik Indonesia.